Para perwira tinggi militer di Gabon muncul di televisi pada hari Rabu (30/08) untuk mengumumkan pembatalan hasil pemilihan umum (pemilu) baru baru ini di negara itu, dengan alasan kurangnya kredibilitas. Suara tembakan terdengar di pusat ibu kota Gabon, Libreville, tak lama setelah komite pemilu negara Afrika Tengah itu mengumumkan pada Rabu (30/08) pagi bahwa Presiden Ali Bongo, 64 tahun, memenangkan pemilu dengan perolehan suara sebanyak 64,27%. Para pemimpin kudeta militer itu kemudian menjadikan Presiden Bongo sebagai tahanan rumah, atas alasan "pengkhianatan", sementara tokoh tokoh pemerintah lainnya juga telah ditahan atas berbagai tuduhan.
"Presiden Ali Bongo menjadi tahanan rumah, dikelilingi oleh keluarga dan dokter," ungkap para perwira militer Gabon dalam sebuah pernyataan yang dibacakan di televisi milik pemerintah. Putra Presiden Bongo, Noureddin Bongo Valentin, yang juga merupakan penasihat presiden, termasuk di antara mereka yang ditangkap. Presiden Bongo pun muncul dalam sebuah unggahan video di media sosial dan mengatakan bahwa, "saya mengirim pesan kepada semua teman di seluruh dunia, untuk memberikan suara mereka kepada … orang orang di sini yang menangkap saya dan keluarga saya."
"Saya berada di rumah dan baik baik saja, tetapi saya tidak tahu apa yang sedang terjadi, saya meminta kalian semua untuk membuat keributan," kata presiden berusia 64 tahun itu. "Atas nama rakyat Gabon … kami telah memutuskan untuk mempertahankan perdamaian dengan mengakhiri rezim saat ini," tegas para perwira militer itu dalam sebuah pidato sebelum fajar. Hasil Survei Elektabilitas Terbaru Versi Roy Morgan: Persaingan Posisi Kedua antara Ganjar Vs Anies
Persaingan di Jawa Ketat, Survei Capres 2024 Terbaru Hari Ini, Elektabilitas Terkini Paslon Terkuat Jakarta Sengit, Cek 3 Survei Elektabilitas Pilpres 2024 Terbaru, Terjawab Capres Terkuat di Ibu Kota Hasil Survei Capres 2024, Elektabilitas di Jakarta Sengit, Ini Paslon Terkuat di Ibu Kota
Calon Pemenang Pilpres 2024 Mulai Terlihat Jelang Pencoblosan, 6 Hasil Survei Elektabilitas Terbaru Halaman 4 Polres Kudus Mulai Gencarkan Patroli Dialogis Jelang Pencoblosan Survei Elektabilitas Pilpres 2024, Prabowo Subianto Unggul, Ganjar dan Anies Bersaing di Posisi Dua
Idham Mase Kekeuh Cerai dengan Catherine Wilson, Kecewa Keket Tak Mundur dari Caleg, Rebutan Suara Halaman 3 Kelompok yang tampil di televisi itu terdiri dari belasan kolonel angkatan darat, anggota pasukan elit Garda Republik, tentara reguler, serta anggota polisi dan pasukan keamanan lainnya. Dengan mengklaim bahwa mereka mewakili semua suara pasukan keamanan dan pertahanan Gabon, para perwira itu menyatakan pembubaran "semua institusi republik" di negara itu.
Setelah pemilu pada hari Sabtu (26/08), ketegangan menjadi semakin meningkat, di mana Presiden Bongo terpilih melanjutkan kekuasaan keluarganya yang telah berlangsung selama 55 tahun di tengah tengah seruan oposisi untuk melakukan perubahan di negara yang kaya akan sumber daya alam, tetapi miskin secara ekonomi. Kekhawatiran mengenai transparansi pemungutan suara pun meningkat, karena tidak adanya pengamat internasional, penangguhan siaran asing, hingga pemadaman internet secara nasional dan jam malam yang diberlakukan oleh pihak berwenang. Pada tahun 2019 lalu, tentara militer Gabon juga mengumumkan di radio pemerintah bahwa mereka telah "membentuk dewan restorasi nasional" untuk menggulingkan Presiden Ali Bongo. Upaya kudeta militer itu telah berlangsung kurang dari seminggu, setelah pasukan militer menyerbu stasiun radio dan menangkap delapan komplotan, bahkan membunuh sedikitnya dua orang.
Perkembangan situasi terkini di Gabon itu telah terjadi hampir satu bulan, setelah pasukan pemberontak di Niger juga menggulingkan pemerintah terpilih secara demokratis. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengatakan bahwa dia "dengan tegas" mengutuk upaya kudeta militer tersebut dan menegaskan kembali "penentangannya yang kuat terhadap aksi kudeta militer," menurut juru bicaranya. Kecaman lain juga datang dari Uni Afrika, dengan mengatakan bahwa pengambilalihan kekuasaan secara paksa merupakan pelanggaran terhadap piagamnya. Pemerintah Jerman juga mengkritik kudeta ini, seraya menambahkan bahwa ada kekhawatiran yang sah atas pemilihan umum di negara itu.
"Bukan hak militer untuk mengintervensi proses politik dengan paksa. Masyarakat Gabon harus dapat secara otonom dan bebas menentukan masa depan mereka," kata Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Jerman. Selain itu, Inggris juga turut prihatin terhadap pelaksanaan pemilu di Gabon baru baru ini, seraya mengutuk kudeta militer tersebut sebagai tindakan yang "tidak konstitusional". "Inggris mengutuk pengambilalihan kekuasaan oleh militer di Gabon yang tidak konstitusional dan menyerukan pemulihan pemerintahan yang konstitusional. Kami sadar adanya keprihatinan yang muncul terkait proses pemilihan umum baru baru ini, termasuk pembatasan kebebasan media," ungkap Kemlu Inggris dalam sebuah pernyataan.
Prancis, salah satu negara bekas penjajah Afrika Barat, juga mengatakan pada hari Rabu (30/08) bahwa pihaknya mencerna insiden kudeta di sana "dengan penuh perhatian". Seorang juru bicara pemerintah kemudian mengatakan bahwa Prancis mengutuk kudeta militer di Gabon. Leonard Mbulle Nziege, seorang ahli ekonomi politik dan mahasiswa doktoral di Universitas Cape Town, mengatakan kepada DW bahwa keluarga Bongo terus merongrongkan demokrasi selama lebih dari lima dekade berkuasa. "Gabon adalah apa yang bisa disebut sebagai rezim otoriter pemilu," kata Mbulle Nziege. "Meskipun pemilihan multi partai dilakukan secara teratur, yaitu setiap tujuh tahun sekali, lembaga lembaga demokrasi, supremasi hukum, semuanya telah ditumbangkan oleh kekuasaan keluarga Bongo."
Mbulle Nziege juga mengatakan bahwa kegagalan untuk merespons secara signifikan terhadap kudeta militer di Afrika, yang baru baru ini juga terjadi di Niger, membuktikan bahwa militer Gabon telah mampu mengambil keuntungan dari situasi itu. Namun tidak seperti di Niger, "Rusia hanya memiliki pengaruh yang sangat kecil" di Gabon. Sementara itu, Wartawan Gabon Jocksy Ondo Louemba menyebut pemilu Sabtu (26/08) lalu itu sebagai pemilu yang "tidak adil dan tidak masuk akal".
Dia mengatakan kepada DW bahwa keberhasilan kudeta militer ini bergantung pada ketidakpuasan yang mendalam di kalangan para militer. Louemba juga menambahkan bahwa menggulingkan rezim saat ini akan gagal, jika tidak mendapat dukungan luas. Louemba juga menjelaskan bahwa mantan Presiden Omar Bongo telah "membeli lawan lawan politik," putranya, Presiden Ali Bongo saat ini, untuk "menentang dialog," seraya menambahkan kepada DW bahwa, "dia (Presiden Omar Bongo) pikir, dia bisa mencapai segalanya dengan kekerasan dan kekuatan polisi." Kp/ha (AFP, Reuters)